JAKARTA – Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) beserta delapan orang anggota komunitas Masyarakat Adat menyerahkan Kesimpulan dalam Perkara No. 542/G/TF/2023/PTUN-JKT di PTUN Jakarta, Kamis (25/4/2024).
Komunitas-komunitas masyarakat tersebut antara lain Ngkiong dari Manggarai Timur, Osing dari Banyuwangi, dan O’Hangana Manyawa dari Maluku Utara. Mereka selaku penggugat, tengah berupaya mendapatkan pengakuan dan perlindungan hukum atas tanah dan hak leluhur mereka.
Ketua Badan Pelaksana Perhimpunan Pembela Masyarakat Adat Nusantara (PPMAN), Syamsul Alam Agus menjelaskan bahwa mereka telah menyerahkan bukti-bukti di konferensi berupa 45 dokumen, enam saksi fakta, dan tiga ahli untuk memperkuat gugatan.
“Setelah proses pembuktian di persidangan selesai, maka penyerahan Kesimpulan adalah agenda terakhir sebelum majelis hakim menjatuhkan putusan. Kami sebagai kuasa hukum Para Penggugat telah mengajukan bukti-bukti di persidangan untuk menguatkan dalil-dalil gugatan. Bukti itu di antaranya bukti surat sebanyak 45, enam orang saksi fakta, dan tiga orang ahli,” jelasnya.
Baca juga: Menjaga Soliditas, Komunitas Generasi Wita Mori Rembuk Kepengurusan
Menurut Alam, bukti-bukti tersebut menunjukkan dampak ketiadaan UU Masyarakat Hukum Adat yang mengakiibatkan para penggugat mengalami kerugian faktual dan potensial. Kerugian itu antara lain kriminalisasi, penggusuran, perampasan wilayah adat, serta ancaman kepunahan identitas budaya.
Sementara itu, tiga ahli memiliki pendapat yang sejalan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 35/PUU-X/2012 Tentang Pengujian UU Nomor 41/1999 tentang Kehutanan, tanggal 6 Mei 2013. Isinya menyatakan bahwa pembentukan UU Masyarakat Adat adalah perintah konstitusi melalui Pasal 18B ayat (2) UUD 1945.
Perda Tak Cukup Atasasi Masalah Masyarakat Adat
Alam juga menyoroti bahwa beberapa peraturan daerah (Perda) tentang Masyarakat Adat tidak mampu memberikan kepastian hukum yang memadai. Sebab kata dia, Perda tidak dapat menggantikan peran UU sebagaimana perintah konstitusi.
“Perda ini bukan perintah konstitusi dan tidak mampu memberikan kepastian hukum. Pengalaman Mikael Ane, salah satu penggugat, menunjukkan bahwa meskipun sudah ada Perda, penggusuran wilayah adat masih terjadi di daerahnya,” tambahnya.
Menurut Alam, berdasarkan fakta sebagaimana pula terungkap di persidangan, pembentukan UU Tentang Masyarakat Adat adalah kebutuhan mendesak. Tidak dapat tertunda lagi seperti yang selama ini terjadi.
AMAN Gugat DPR dan Presiden
Sekretaris Jenderal AMAN, Rukka Sombolinggi, menjelaskan bahwa pengajuan gugatan kepada DPR RI dan Presiden Republik Indonesia karena berbagai upaya advokasi yang mereka lakukan selama ini menemui jalan buntu.
Di sisi lain kerugian Masyarakat Adat terus berlanjut, sementara tidak ada itikad baik dari pemerintah untuk segera membentuk UU.
“AMAN sejak berdiri pada tahun 1999 melalui Kongres Masyarakat Adat Nusantara I, sudah melakukan banyak upaya advokasi. Termasuk mendorong pembentukan UU Masyarakat Adat. Namun, karena tidak kunjung ada itikad baik negara, maka pengadilan menjadi ruang untuk mendidik DPR dan Presiden tentang kewajiban-kewajiban hukum mereka dalam penyelenggara negara,” tegas Rukka.
Objek Gugatan: Tindakan Abai DPR dan Presiden
Fatiatulo Lazira, SH, Koordinator Tim Hukum, menambahkan bahwa gugatan ini fokus pada tindakan administratif pemerintah yang abai atau diam terhadap permohonan pembentukan UU Masyarakat Adat.
“RUU masyarakat adat ini telah beberapa kali masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan Prolegnas Prioritas sejak tahun 2004, namun belum juga terbentuk. Surat permohonan No. 019/PPMAN/VII/2023 penggugat pada Juli 2023 untuk pembentukan UU tersebut juga diabaikan,” ungkapnya.
Baca juga: Menelusur Rekam Jejak Ambo Mai Intang, Tokoh Utama Terbentukya Desa Todopoli Uebangke
Fati menyebut sikap abai atau diam atas permohonan Para Penggugat itu merupakan tindakan administratif pemerintahan yang melanggar hukum. Masyarakat pun dapat menggugatnya melalui PTUN.
“Ketidakpedulian DPR dan Presiden merupakan pelanggaran hukum administratif yang dapat digugat di PTUN. Sikap abai ini bertentangan dengan fungsi pelayanan publik yang seharusnya dijalankan pemerintah,” tegas Fati.
Fati berharap agar Majelis Hakim dapat menjalankan fungsi sebagai ruang bagi pencarian keadilan dan sebagai pengontrol penyelenggaraan negara yang tidak efektif.
“Pengadilan harus menjadi tempat penyelesaian aspirasi masyarakat yang tersumbat akibat kegagalan pemerintah menjalankan fungsinya,” tandasnya. (*)