Berita

Menelusur Rekam Jejak Ambo Mai Intang, Tokoh Utama Terbentukya Desa Todopoli Uebangke

64
×

Menelusur Rekam Jejak Ambo Mai Intang, Tokoh Utama Terbentukya Desa Todopoli Uebangke

Sebarkan artikel ini
Todopoli
Ambo Mai Intang bersama istri, anak, menantu dan cucu. (Foto: Ist)

ENTAH sudah berapa banyak orang yang berjasa terhadap kehidupan orang lain di negeri ini. Tidak harus anak daerah, perantau juga mampu melakukannya. Meski hal itu berawal dari penderitaan. Berikut salah satu kisahnya yang kembali diangkat penulis ke portal berita ini dari Harian Palu Ekspres 2012 silam.

Laporan: Ilham Nusi

TERLIBAT langsung dalam pembangunan daerah tak pernah terpikir di benak Hi Ambo Mai Intang. Perantau asal Desa Siwa, Kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan pada 1996 silam ini kemudian menjadi tokoh penting dalam pemekaran Desa Panca Makmur menjadi bagian baru yakni Desa Todopoli Uebangke.

Desa Todopoli Uebangke dibentuk berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Morowali Nomor 18/2010. Desa yang sebelumnya adalah Dusun Uebangke ini kemudian menambah jumlah desa di Kecamatan Soyo Jaya, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah.

Kala itu, Ambo Mai menurutkan, sebelum sekarang dihuni 1.473 jiwa dari 427 kepala keluarga, dusun Uebangke hanyalah sebuah kawasan di tengah hutan rimba tanpa satupun penduduk. Takdir hiduplah, kata dia, mengantar dusun itu terbentuk.

“Dulu Uebangke hanyalah jalur perlintasan warga dari Soyo Jaya ke Desa Era, Kecamatan Mori Utara. Itupun hanya ada jalan setapak yang perlahan-lahan dibentuk menjadi lebih lebar supaya bisa dilalui gerobak,” kata Ambo Mai, mengawali perbincangannya bersama penulis, Kamis, 16 Agustus 2012.

Berawal dari keinginan mengubah perekonomian keluarga yang serba pas-pasan, Ambo Mai bersama 69 KK lainnya dari desa yang sama berangkat menuju Kecamatan Togo Jaya, masih dalam wilayah Morowali. Kala itu, mereka mendapat tawaran dari seseorang untuk menjadi Transmigrasi Penduduk Setempat (TPS).

Mendapat kesempatan itu, Ambo Mai kemudian mengumpulkan warga dengan persyaratan berupa bukti legalitas kependudukan, surat pindah dari daerah asal dan uang Rp500 ribu per KK. Sayangnya peluang itu tak sesuai harapan.

“Kami ternyata hanya dimanfaatkan seseorang untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Menyesal? itu pasti,” kenangnya.

Selama beberapa bulan ke 70 KK itu kemudian terlantar. Persedian uang saku terus menipis. Sementara orang yang tak ingin lagi disebut namanya oleh Ambo Mai itu selalu menolak atas pertanggungjawabannya.

Putus asa perlahan lahan melemahkan niat mereka untuk bertahan tanpa kepastian. Sebagian warga akhirnya memilih pulang kampung ketimbang terus menderita di Togo Jaya.

“Lama kami menunggu janji itu. Bahkan saya juga disangka menipu mereka,” sebut Ambo Mai.

Bangkit Setelah Ditipu

Ambo Mai yang merasa bersalah, terus berusaha agar orang-orang yang diajaknya dari Desa Siwa itu tidak membencinya. Maklum saja, mayoritas orang yang diajaknya untuk bertransmigrasi adalah keluarga besarnya. Selebihnya tetangga satu kampung.

Tibalah suatu hari, Ambo Mai bertemu Sekretaris Kecamatan Soyo Jaya. Setelah menceritakan segalanya, Ambo Mai kemudian ditawari untuk membuka kawasan hutan di bagian selatan Soyo Jaya. Namun dengan ketentuan, setiap KK hanya boleh membuka lahan seluas 2 hektar.

“Pokoknya kami langsung menerima kesempatan itu. Maka kemudian jadilah dusun Uebangke,” katanya.

Seiring waktu, tidak semua warga tersebut mengikuti langkah Ambo Mai. Tetapi bapak dua anak (kala itu) tak patah arang untuk mendapat penghidupan lebih layak dari sebelumnya. Mulailah Ambo Mai dibantu istri tercintanya menanam kakao dan sayur sayuran. Begitupun warga lainnya yang tetap bersama Ambo Mai, saling berpacu untuk lepas dari jerat kemiskinan.

Menikmati Hasil Perjuangan

Tiga tahun kemudian, mereka mulai menuai hasil kerja kerasnya. Perlahan-lahan perekonomian warga Uebangke semakin membaik. Sebagai orang yang ditokohkan, Ambo Mai kemudian ditunjuk untuk menjadi kepala dusun.

Keberhasilan Ambo Mai dan warga lainnya itu kemudian tersiar sampai ke Siwa. Satu persatu warga Siwa datang dan menetap di Uebangke. Mereka kemudian diberi izin pemerintah daerah setempat untuk membuka lahan perkebunan baru. Roda perekonomian kemudian berputar semakin stabil di tempat itu.

Hingga memiliki 6 orang anak -dua di antaranya telah meninggal dunia akibat sakit- Ambo Mai saat ini sudah hidup berkecukupan. Dari sebuah gubuk berukuran kecil, kini pria itu sudah bisa menghadiahi istrinya sebuah rumah yang cukup megah. Beberapa unit kendaraan roda dua dan empat juga sudah dimilikinya.

Saat ini, Ambo Mai yang genap satu tahun menjabat Kepala Desa yang juga pemerkarsa adanya aliran listrik, budidaya dan fermentasi minyak Nilam (akan diceritakan penulis pada edisi berikut) masih ingin terus berkarya.

Meski desa mereka terbilang kategori daerah terisolir, baik akses masuk maupun belum tersedianya sambungan komunikasi telepon, baginya, hidup adalah jutaan arah jalan, jika kita pandai memilih yang tepat, maka usaha itu bakal berbuah baik.

Kondisi Wilayah

Dari data kecamatan kala itu, Todopoli terdiri dari lima dusun, yakni D I dihuni 51 KK (168 jiwa), D II 57 KK (206 jiwa), D III 104 KK (395 jiwa), D IV 107 KK (359 jiwa), dan D V 108 KK (345 jiwa). Warga desa ini menggantungkan mata pencahariannya dari hasil kebun, sawah dan budidaya Nilam.

Cukup sulit jalur yang dilalui penulis agar bisa tiba di Desa Todopoli. Berangkat dari Kota Palu, Ibukota Provinsi Sulteng, akan lebih dekat dilalui dari Kabupaten Poso, selanjutnya menuju Desa Emeya, Kabupaten Tojo Unauna.

Melewati jalan beraspal di pegunungan wilayah Tojo Unauna, perjalan masih terasa nyaman sembari disuguhi pemandagan alam yang begitu menakjubkan. Namun itu tak akan berlangsung lama, karena setelah melewati gerbang perbatasan Touna-Morowali, maka kecepatan kendaraan akan berkurang hingga 20 km per jam sebab harus melalui jalan Morowali yang rusak parah.

Namun konidisi wilayah tersebut sudah berbeda saat sekarang yang lebih mudah didatangi. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *