Berita

Ketua BPD Bungintimbe Ungkap Kejanggalan Pembebasan Lahan Jarungke

95
×

Ketua BPD Bungintimbe Ungkap Kejanggalan Pembebasan Lahan Jarungke

Sebarkan artikel ini
Ketua BPD Bungintime Sarludin Lauende
Komisi I DPRD Morut menggelar RDP menindaklanjuti aduan masyarakat Desa Bungintimbe terkait pembebasan lahan oleh PT KKM dan PT GPM, Senin (19/5/2025). (Foto: Ist)

MORUT – Ketua BPD Bungintimbe, Sarludin Lauende, mengungkapkan sejumlah kejanggalan dalam proses ganti rugi lahan warga eks penghuni kampung tua Jarungke.

Polemik pembebasan lahan di wilayah Jarungke, Desa Bungintimbe, Kecamatan Petasia Timur, kembali mencuat seiring masuknya aktivitas perusahaan tambang di kawasan tersebut.

Menurut Sarludin, wilayah Jarungke dulunya merupakan permukiman lama sebelum warganya direlokasi ke Desa Bungintimbe. Di situ kemudian berdiri beraktivitas PT Khatulistiwa Mineral And Mining (KMM) dan PT Gita Perkasa Mineralindo (GPM).

Dia bilang, sejumlah ahli waris dari eks penghuni kampung Jarungke mengklaim masih memiliki tanah budel (warisan) yang kini masuk dalam wilayah operasional dua perusahaan galian C tersebut.

“Pembayaran kompensasi sempat dilakukan sekitar tahun 2016–2017 oleh PT GPM. Namun, belakangan PT KMM kembali melakukan pembebasan lahan di lokasi yang sama, dan ini memicu konflik baru,” kata Sarludin.

Ia menjelaskan bahwa polemik utama muncul akibat perbedaan nilai ganti rugi yang sangat mencolok. Ada yang menerima Rp80 juta, ada yang Rp90 juta, Rp100 juta, bahkan ada yang sampai Rp600 juta.

“Padahal luas lahannya hampir sama, selisihnya paling sekitar satu hektare saja,” ungkapnya.

Baca jugaDPRD Morut Bahas Pembebasan Lahan dan CSR Bungintimbe

Tak hanya soal nominal, sejumlah klaim luas lahan juga mengalami pengurangan. Beberapa warga yang semula mengklaim memiliki 2 hektare atau lebih, dalam dokumen pembayaran justru tercatat kurang dari 1 hektare.

Ketua BPD juga mengungkap persoalan legalitas. Ia menyebut dugaan adanya oknum yang membuat surat pernyataan klaim tanah tanpa melibatkan pemerintah desa.

“Ada orang membuat surat pernyataan itu sebagai dasar pembayaran, tanpa melalui prosedur resmi pemerintah desa. Ini yang memperkeruh suasana dan memicu konflik internal di antara keluarga ahli waris,” ujarnya.

Sarludin menambahkan, perlunya transparansi dan keadilan dalam proses pembebasan lahan agar tidak merugikan masyarakat, khususnya para ahli waris yang berhak.

“Polemik ini harus segera terselesaikan melalui mediasi yang melibatkan semua pihak terkait, termasuk pemerintah desa dan perusahaan,” tandasnya. (ham)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *