Berita

Petani Buol Tuntut Hak Lahan dan Hasil Panen ke PT HIP

40
×

Petani Buol Tuntut Hak Lahan dan Hasil Panen ke PT HIP

Sebarkan artikel ini

Buntut Pembagian SHU PT UKMI

Petani Buol Menuntut PT HIP
Para petani di Buol menuntut PT HIP mengembalikan lahan dan hasil panen sawit kemitraan. (Foto Istimewa)

BUOL – Pembagian Sisa Hasil Usaha (SHU) oleh PT Usaha Kelola Maju Investasi (UKMI) kepada 7 koperasi di kantor PT Hardaya Inti Plantations (HIP), disaksikan oleh perwakilan Pemda, menuai kontroversi. Forum Petani Plasma Buol menilai langkah ini sebagai upaya PT HIP untuk menghindari tuntutan petani atas pengelolaan kebun sawit kemitraan yang dinilai bermasalah.

Menurut Koordinator Forum Petani Plasma Buol, Fatrisia, kemitraan perkebunan sawit di Buol melibatkan PT HIP dan 7 koperasi (Amanah, Plasa, Bersama, Awal Baru, Bukit Piyonoto, Idaman, dan Fisabililah) dengan 4.934 petani sebagai pemilik lahan seluas 6.764 hektar sejak 2008.

Baca jugaIndeks Keselamatan Jurnalis Indonesia di Bawah 70 Persen

Namun, pengalihan pengelolaan dari PT HIP ke PT UKMI diduga hanya untuk mengaburkan hubungan kemitraan dan membebaskan PT HIP dari tuntutan petani.

“Selama ini, petani tidak pernah menerima bagi hasil, justru dibebani utang hingga Rp590 miliar tanpa penjelasan transparan. Sementara itu, PT HIP mengelola kebun secara tertutup dan mengambil seluruh hasil kebun,” ungkapnya dalam siaran pers yang diterima media ini Sabtu (22/2/2025).

Putusan Hukum Terhadap PT HIP

PT HIP telah dilaporkan ke Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) dan terbukti melanggar Pasal 35 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM. Putusan KPPU ini diperkuat oleh Pengadilan Niaga di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Hingga kini, PT HIP tidak mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, tetapi juga tidak menjalankan sanksi, termasuk audit keuangan koperasi Amanah sejak pembangunan kebun hingga 2023.

“Untuk 6 koperasi lainya masih dalam proses pemeriksaan tahap awal oleh KPPU,” kata Fatrisia.

Peran Pemda Buol Dipertanyakan

Fatrisia menilai keputusan PJ Bupati Buol dan Pemda untuk menfasilitasi pembagian SHU di tengah konflik hukum kemitraan dengan PT HIP adalah keliru.

Alih-alih menyelesaikan masalah, pengalihan pengelolaan kebun ke PT UKMI (perusahaan yang baru berdiri 2023) justru memperumit penyelesaian konflik petani pemilik lahan.

“Langkah Pemda Buol dianggap mewakili kepentingan PT HIP yang masih ingin menguasai kebun kemitraan. Seharusnya, pemerintah daerah mendorong pelaksanaan putusan KPPU dan memastikan transparansi pengelolaan kebun sawit kemitraan,” jelasnya.

Ketidakadilan dalam Pembagian SHU

Pembagian SHU oleh PT UKMI dianggap jauh dari nilai wajar dan tidak semua koperasi menerima haknya. Contohnya, Koperasi Plasa tidak menerima SHU sama sekali.

Bahkan, petani hanya mendapatkan Rp150.000 – Rp300.000 per hektar, padahal harga sawit mencapai Rp2.300/Kg. Dengan jumlah pohon sawit 136 per hektar, yang bisa dipanen 2-3 kali sebulan, petani seharusnya menerima hasil lebih besar.

Dengan pembagian hasil yang tidak transparan dan merugikan, wajar jika para petani menuntut pengembalian lahan dan sertifikat hak milik.

“Mereka tidak akan berhenti sampai keadilan ditegakkan dan hak atas tanah serta hasil panen mereka terpenuhi,” tegasnya.

Baca jugaPT SEI Salurkan Bantuan Sosial di Dua Panti Asuhan

Fatrisia menegaskan bahwa semakin banyaknya bukti pelanggaran dan ketidakadilan, petani siap mengambil langkah hukum lebih lanjut jika tuntutan mereka terus diabaikan.

Japardin, salah satu petani pemilik lahan kemitraan meyakini bahwa adanya penerimaan bagi hasil sekarang ini setelah belasan tahun tidak ada SHU untuk petani sebagai buah dari upaya-upaga tanpa henti para petani melalui forumnya dalam mendapat keadilan hak atas tanah.

Namun demikian, Japardin dan petani lainnya yang berjuang hingga detik ini masih menolak menerima SHU, karena apa yang jadi tuntutan mereka tidak sesuai.

Selain itu, Japardin menyebut bahwa pengurus koperasi selalu membuat kesepakatan dengan perusahaan tanpa melalui musyawarah anggota.

Terlebih lagi, pengurus koperasi tak kunjung menggelar Rapat Anggota sejak tiga tahun terakhir, padahal menurut dia, rapat itu sifatnya wajib menurut aturan pemerintah.

“Tiap kali ada keputusan baru, kami selalu kaget dan dipaksa menerima bahkan tanpa adanya sosialisasi. Ini betul-betul penguasaan hak secara sepihak. Karena itu perjuangan kami belum berakhir hingga keadilan ditegakkan sepenuhnya,” sebut Japardin.

Sementara itu hingga berita ini ditayangkan redaksi belum mendapatkan tanggapan dari para pihak terkait. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *