Berita

Satuara, Kolaborasi Musisi Poso tentang Lingkungan, Toleransi serta Persaudaraan

79
×

Satuara, Kolaborasi Musisi Poso tentang Lingkungan, Toleransi serta Persaudaraan

Sebarkan artikel ini
Penampilan salah satu band dalam kolaborasi album Satuara di acara Kemping Padusatu di Hutan Pinus Panorama Tentena, Sabtu (10/8/2024). (Foto: Basrul Idrus)

POSO – Lima band asal Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah meluncurkan album kolaborasi berjudul Satuara dalam acara Kemping Padusatu di Hutan Pinus Panorama Tentena Sabtu (10/8/2024). Seratusan penonton antusias menanti penampilan band meski udara sejuk mulai menggigit di pukul 22:00 wita.

Album yang digarap oleh lima band dan musisi selama hampir empat bulan ini berisi lima lagu yang menggambarkan toleransi, kebudayaan dan persaudaraan di Kabupaten Poso.

Mereka juga menyelipkan pengingat tentang ancaman kerusakan alam yang disebabkan manusia dan intoleransi yang harus diantisipasi terutama oleh kaum mudanya.

Lima band dan musisi yang terlibat adalah Borgol, NFLY, YET, Guritan Kabudul dan Stonehead. Kelima seniman musik ini juga menggambarkan keragaman, bukan hanya genre musik tapi juga latar belakang para personilnya.

Hawa sejuk berangin berganti hangat saat NFLY yang jadi penampil pertama menghentak panggung dengan lagu Persepsi. Setelah itu disusul YET dengan lagu Coside.

Kelar YET disusul oleh Stonehead dengan lagu Anisoptera dan ditutup Guritan Kabudul yang membawakan Sampuraga. Sepanjang hampir satu jam kelima band ini menampilkan kekhasan masing-masing di hadapan penonton.

Saiful Dunda, anggota komunitas Kurang Kreatif yang menjadi penggagas album ini mengatakan, kolaborasi ini menjadi wadah mereka menyatukan suara untuk mewartakan keadaan Poso yang sebenarnya kepada publik yang lebih luas.

Beragam genre di album ini, menurut dia, menambah kesempatan untuk menjangkau pendengar yang lebih beragam.

Sementara itu Ichad, salah seorang musisi di band NFLY yang terlibat dalam penggarapan album ini mengatakan sebagai musisi mereka kerap mendapat pertanyaan mengenai kondisi keamanan di Poso.

“Masih banyak yang bertanya. Apakah Poso aman atau tidak,” katanya.

Menurut Ichad, pertanyaan itu lahir karena image dan persepsi Poso sebagai wilayah yang pernah mengalami konflik horisontal hingga masalah terorisme masih lekat di ingatan publik Indonesia dan dunia.

Ichad menuturkan, album Satuara jadi salah satu upaya mereka menceritakan langsung kepada dunia bahwa Poso sudah menjadi wilayah yang layak dikunjungi oleh siapapun tanpa membawa rasa khawatir.

Musisi lainnya, Eki Salua, penyanyi hip hop yang punya nama panggung Stonehead menyoroti ancaman kerusakan lingkungan serius dengan menceritakan pentingnya Capung (anisoptera) dalam sitem kehidupan di bumi. Anisoptera kemudian menjadi judul lagu yang ada di dalam album Satuara.

“Anisoptera adalah cara untuk mengukur apakah air kita masih bersih,” kata Eki dari atas panggung.

Keresahan atas ancaman kerusakan lingkungan di Poso juga diapungkan Your Escape Tomorrow(YET). Lewat lagu berjudul Cocide, Iksan sang vokalis mengingatkan pengrusakan alam secara sadar dan sengaja akan memusnahkan manusia itu sendiri.

Cocide adalah Ecocide, yakni upaya penghancuran lingkungan yang dilakukan di wilayah yang tingkat kemiskinannya tinggi sehingga menimbulkan masalah sosial dan ekonomi serta wabah penyakit.

Jika YET menyoroti pemghancuran ekologi, Borgol lewat nomornya, Tamak, melihat sudut lain penyebab kerusakan lingkungan dan terjadinya konflik yakni kolaborasi kapitalisme dan intelektual penghamba uang yang membodohi masyarakatnya sendiri.

Lirik lagu Tamak juga menyoroti kondisi politik kekinian yang sering kita tonton dan baca di media. Seperti dalam bait ini.

Orang pintar semakin membodohi
Berhati suci sibuk menghakimi
Moncong senjata tega menjajah
Yang jelata dipaksa musnah

Bukan hanya menyorot masalah yang tampak di permukaan. Album Satuara juga menelisik lebih dalam apa yang masih dialami banyak orang Poso. Salah satunya soal trauma.

Banyak orang berpikir ketika konflik sudah selesai yang sering hanya ditunjukkan dengan tidak adanya gangguan keamanan atau teror maka disimpulkan semua telah pulih. Padahal, ada masalah yang belum selesai yakni trauma yang masih membekas pada sebagian orang akibat konflik masa lalu.

Konflik horisontal di Poso yang sudah berlalu lebih dari 20 tahun lalu, ditambah munculnya aksi-aksi terorisme diantara 2005-2018 mengawetkan ingatan buram bukan hanya pada orang luar, tapi juga sebagian orang Poso.

Hal itu dituangkan duet folk Guritan Kabudul yang digawangi Riston Pamona dan Raymond Kuhe dalam lagu Sampuraga. Liriknya bercerita tentang seorang tua yang tinggal di sebuah desa terpencil di antara kabupaten Poso dan Tojo Una-Una yang mengira masih ada konflik horisontal yang terjadi di wilayah ini.

“Pak tua ini bahkan masih terus waspada karena mengira akan ada serangan yang datang ke kampungnya,” kata Riston Pamona, vokalis Guritan Kabudul tentang sosok yang mereka ceritakan di lagu Sampuraga.

Saiful Dunda mengatakan lima lagu di album Satuara selanjutnya bisa segera dinikmati lewat berbagai platform mulai dari spotify, apple music dan youtube.

Dia berharap, pesan yang disampaikan para musisi bukan cuma didengarkan, tapi mempengaruhi pendengarnya dan berbuah tindakan untuk menjaga lingkungan, merawat toleransi dan membuat kaum muda semakin peduli pada sesama manusia, juga seluruh ekosistem di alam semesta. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *