JAKARTA — Sejumlah organisasi masyarakat sipil mengutuk keras tindakan brutal aparat kepolisian dan TNI terhadap mass aksi “Peringatan Darurat” Kawal Putusan MK yang digelar di berbagai wilayah Indonesia pada Kamis (22/8/2024).
Aksi tersebut dilakukan sebagai bentuk protes terhadap potensi revisi UU Pilkada yang dinilai melanggar konstitusi dan memberi keuntungan bagi pencalonan Kaesang Pangarep, putra bungsu Presiden Joko Widodo.
Aksi protes yang berlangsung di kota-kota seperti Jakarta, Semarang, Yogyakarta, Bandung, Lampung, Sulawesi, dan Kalimantan tersebut diwarnai dengan tindakan represif aparat. Massa aksi, yang terdiri dari mahasiswa, pelajar, anak-anak, lansia, asisten pengacara, dan jurnalis, menjadi korban dari penangkapan sewenang-wenang, pemukulan, serta penembakan gas air mata secara brutal.
Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD) melaporkan bahwa di Jakarta saja, tujuh massa aksi mengalami kekerasan yang membuat mereka harus dilarikan ke rumah sakit. Selain itu, Komite Keselamatan Jurnalis mencatat setidaknya 10 jurnalis mengalami luka-luka akibat tindakan represif aparat.
Tak hanya itu, TAUD juga mencatat penangkapan sewenang-wenang terhadap 105 massa aksi yang digelandang ke Polres Jakarta Barat sekitar pukul 17.00 WIB, dan 159 massa aksi lainnya yang ditangkap dan dibawa ke Polda Metro Jaya.
Penangkapan dilakukan tidak hanya selama aksi berlangsung, tetapi juga saat massa aksi sedang menuju lokasi demonstrasi. Bahkan para pendamping hukum mengalami kesulitan untuk menemui massa aksi yang ditangkap, yang beberapa di antaranya mengalami luka dan tidak mendapatkan perawatan medis yang layak.
Selain itu, tindakan penegakan hukum terhadap anak-anak yang terlibat dalam aksi ini dilakukan tanpa mematuhi UU Sistem Peradilan Pidana Anak, yang seharusnya memastikan adanya pendampingan dari Badan Pemasyarakatan (BAPAS) dan orang tua.
Masyarakat sipil menegaskan bahwa aksi demonstrasi adalah hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945 serta Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR). Tindakan represif aparat dianggap melanggar prinsip penggunaan kekuatan yang diatur dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2009 dan Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009, yang menekankan pada legalitas, kebutuhan, dan proporsionalitas dalam penegakan hukum.
Koalisi organisasi masyarakat sipil ini mendesak Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk segera membebaskan seluruh massa aksi yang ditangkap secara sewenang-wenang, serta mengusut tuntas kekerasan yang dilakukan aparat terhadap para demonstran.
“Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh Kepolisian dan TNI pada massa aksi Kawal Putusan MK dan Tolak Revisi UU Pilkada merupakan bentuk represi terhadap warga negara yang sedang melaksanakan hak konstitusionalnya,” demikian bunyi pernyataan tersebut.
Pernyataan sikap ini didukung oleh 80 organisasi dan individu, termasuk PSHK, SAFEnet, YLBHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, ICW, AJI Indonesia, dan lainnya.
Mereka juga menyerukan agar kepolisian tidak mengulangi tindakan represif kepada masyarakat yang melaksanakan hak konstitusinya untuk menyampaikan pendapat di muka umum. (*)